Memanggungkan Indonesia

Kamis, 18 September 2014

Kasus Corby, Dari Kiriman Peluru Hingga Cercaan Monyet Kepada Indonesia

By on 22.41
1391902573402938536
Schapelle - Ratu Ganja - Corby, terpidana narkotika saat berada di balik jeruji besi penjara Kerobokan, Bali. (Foto: Getty Images)
Bagaimana reaksi publik dan pers Australia, terkait pembebasan bersyarat warga Australia terpidana kasus narkotika, Schapelle Leigh Corby, yang diputuskan oleh Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia? Dari pantauan terhadap media-media lokal ternama di Negeri Kangguru, seperti The Sydney Morning Herald,brisbanetimes.com.auThe Agecanberratimes.com.au, dan WAtoday.com di Western Australia, pemberitaan tentang Corby sempat menjadi salah satu dari Top 5 National Articles.

Media-media lain pun tentu tak mau kalah. Mereka berlomba untuk menelisik kisah pembebasan bersyarat Schapelle “Queen of Marijuana” Corby. Sebut saja misalnya, Herald Sun2GB 873 AMChannel NineNine Network, dan masih banyak lagi. Makanya boleh dibilang, Corby kini menjadi narasumber media yang paling dinanti dan dicari oleh pers serta publik Australia.

Tak hanya itu, kabarnya ada jaringan televisi yang siap membayar mahal Corby, hingga belasan miliaran rupiah, bila bersedia menyisihkan waktu secara khusus untuk sebuah wawancara ekslusif. Sejumlah jaringan televisi yang disebut-sebut sangat bernafsu meneken kontrak dengan Corby, demi wawancara eksklusif itu adalahChannel SevenNine, dan Ten.

Sama seperti di Indonesia, pembebasan bersyarat Corby, yang terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram marijuana melalui bandara internasional Ngurah Rai, Bali, pada 8 Oktober 2004, dan divonis hukuman 20 tahun kurungan penjara itu, terus menjadi perbincangan di Australia. Apa-apa sajakah yang dipergunjingkan itu?
13919026692069357065
Tatapan mata Schepelle Leigh Corby, terpidana narkotika di dalam penjara Kerobokan, Bali. (Foto: brisbanetimes.com.au)
Indonesia Dianggap Tak Tahu Berterima Kasih
Saat ini di Australia, mencuat sejumlah pihak yang kembali mengungkit cerita lawas saat-saat awal, ketika Corby baru ditangkap, diadili, divonis, dan dijebloskan ke ‘hotel prodeo’ (penjara), yakni pada kurun waktu antara 2004 hingga 2005. Kala itu, mayoritas publik Australia sempat menyatakan kegeramannya atas penangkapan Corby. Kemarahan warga Australia itu khususnya ditujukan kepada aparat hukum, dan sistem serta proses pengadilan di Indonesia.

Diungkapkannya kembali cerita awal saat Corby ditangkap di bandara Ngurah Rai, Bali, diantaranya seperti yang ditulis oleh news and features di The Sydney Morning Herald yaitu Rick Feneley, dalam tulisan kolomnya yang berjudul How a convicted drug smuggler obsessed a nation. Dalam ulasannya, Feneley antara lain mengisahkan kembali solidaritas antar warganegara Australia guna membela Corby habis-habisan. Waktu itu, pada bulan Mei 2005, mayoritas warga Australia masih kekeuhmenganggap, bahwa Corby tidak bersalah (innocent).

Sebagian mereka bahkan meyakini, kalau ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menaruh mariyuana (cannabis sativa) dalam tas milik Corby. Hal tersebut, bisa saja dilakukan sewaktu masih dalam pengurusan barang bagasi di bandara Australia, atau mungkin juga saat sudah tiba di Bali. Dua kemungkinan yang tentu saja dapat menggugurkan kesalahan Corby, serta dilakukan oleh orang lain tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk Corby.

Sepanjang masa-masa itu pula, sentimen sebagian warga Australia terhadap Indonesia semakin kalap. Sikap bermusuhan pun kian ditampakkan sebagai bentuk nasionalisme sempit juga picik. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ketika akhirnya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dihantam gelombang super dahsyat tsunami, pada 26 Desember 2004, sebagian warga Australia tadi bukannya berempati, malah mulai berniat untuk menarik kembali rencana bantuan kemanusiaan ke Indonesia. 

Tak hanya itu, banyak diantara mereka pun menggancang sikap, bakal memboikot perjalanan wisata ke Pulau Dewata, Bali. Singkatnya, gara-gara kasus Corby, berkobar pula sikap anti-Indonesia, yang ditunjukkan oleh sebagian warga Australia. Mereka menganggap, Indonesia sangat ingratitude, tak tahu berterima kasih!

Emosi sebagian warga Australia semakin memuncak, apalagi kemudian pada 2005, Corby dinyatakan bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, dan divonis hukuman 20 tahun penjara. Hasilnya, ketika dilakukan jajak pendapat oleh lembaga survey Morgan, pada awal Juni 2005 — kurang dari seminggu setelah Corby divonis bersalah –, ada sebanyak 51 persen warga Australia yang percaya, bahwa Corby tidak bersalah.

Uniknya, lima tahun kemudian, sewaktu lembaga survey Nielsen melakukan jajak pendapat, pada Agustus 2010, hasilnya justru jauh dari survey sebelumnya. Karena, dari 10 responden yang di-survey, hanya ada satu orang yang ngotot dengan penilaiannya bahwa Corby tidak bersalah. Hasil survey itu juga menunjukkan bahwa ada 41 persen responden yang mengatakan bahwa Corby bersalah, sedangkan 48 persen responden lainnya menyatakan tidak tahu.
13919027371142530241
Wajah tegang Schapelle Corby saat menjalani sidang perkara narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. (Foto: news.com.au)
Orang Indonesia Dibandingkan Dengan Monyet
Masih dalam artikelnya, Feneley juga memaparkan kembali, kisah tentang kesembronoan seorang penyiar radio di Australia, yakni Malcolm T. Elliott, yang termakan oleh lontaran pernyataan emosionalnya sendiri. Dalam sebuah siarannya di Radio 2GB 873 AM – di Sidney –, pada 15 Mei 2005, Malcolm ceplas-ceplos menyebut “monkeys” kepada majelis hakim yang mengadili Corby, sekaligus membandingkan rakyat Indonesia dengan monyet. Selain itu, Malcolm juga menyindir nama Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah paragraf tulisan asli Feneley. Sengaja dikutip, agar dapat terbaca, bahwa para hakim yang mengadili Corby, dan Presiden SBY pun sempat disindir-sindir oleh Malcolm dalam siaran radionya tersebut. Editorials deplored the “’barbaric” Indonesian prison system and radio shock-jock Malcolm T. Elliott called the judges and President Susilo Bambang Yudhoyono “monkeys”. Elliott and broadcaster Alan Jones were appalled that the Corby trial, though run in an Indonesian court, was not conducted in English.

Untuk membaca selengkapnya artikel yang ditulis dan video yang menayangkan paparan dari Rick Feneley di The Sydney Morning Herald tersebut, silakan klik linkberikut: [http://www.smh.com.au/national/how-a-convicted-drug-smuggler-obsessed-a-nation-20140207-327el.html ]
Selain para hakim dalam persidangan kasus Corby, dan juga Presiden SBY, ternyata menurut Media Watch dalam situs abc.net.au edisi 23 Mei 2005, Malcolm juga lebih membandingkan rakyat Indonesia dengan “monkeys” daripada “worms”. Media Watchmenulis: “But there’s worse — the media who use Schapelle Corby case as a licence for their xenophobia. Take Sydney Radio’s 2GB’s Malcolm T. Elliott: he prefers to compare Indonesians to monkeys rather than worms”.
1391902816184809560
Schapelle Corby, narapidana narkotika yang sudah ditetapkan memperoleh pembebasan bersyarat. (Foto: smh.com.au)
Tentu, jadi penasaran dan kepo juga, bagaimana sebenarnya celotehan siaran Malcolm T. Elliott, yang disiarkan di Radio 2GB itu? Berikut, adalah transkripnya:
I believe right now Bambam Yodhoyono is sitting up there and his hands are tied because it’s a legal matter. Wham Bam Thank You Mam Yiddi-yono is going to be called into all of these — well, that’s what he is, isn’t he — have you ever seen them? Whoa, give them a banana and away they go. (Malcolm T. Elliott, Radio 2GB, 15 Mei 2005)

Sedangkan hinaan terhadap tiga hakim yang mengadili Corby, beginilah transkrip sebagian kutipan siaran Malcolm tersebut:

Malcolm : The judges don’t even speak English, mate, they’re straight out of the
                trees if you excuse my expression.
Caller    : Don’t you think that disrespects the whole of our neighbouring nation?
Malcolm : I have total disrespect for our neighbouring nation my friend. Total
               disrespect. And then we get this joke of a trial, and it’s nothing more than 
               a joke. An absolute joke the way they sit there. And they do look like the 
               three wise monkeys, I’ll say it. They don’t speak English, they read books,
               they don’t listen to her. They show us absolutely no respect those
               judges. (Malcolm T. Elliott, Radio 2GB)

Menanggapi siaran yang provokatif itu, kontan saja Media Watch di Australia menunjukkan sikap tegasnya, dan menyebut siaran Malcolm itu sebagai xenophobia, atau kebencian dan ketidaksukaan terhadap bangsa asing, dalam hal ini tentu saja, bangsa Indonesia. Sikap tegas Media Watch tersebut, dapat dibaca pada situsabc.net.au edisi 23 Mei 2005, atau silakan klik link berikut:[http://www.abc.net.au/mediawatch/transcripts/s1369667.htm]
Bersyukur, setelah siarannya yang penuh kebencian (xenophobia) terhadap bangsa dan rakyat Indonesia, karir Malcolm T. Elliott sebagai penyiar di Radio 2GB itu pun berakhir. Sebelumnya, sosok Malcolm sempat diberitakan menghilang, dan para koleganya pun tak tahu, dimana keberadaan penyiar yang sudah sembrono dan kebablasan bicara di frekwensi radio itu.
1391902873833559477
Schapelle Corby, menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana atau cannabis sativa, dari Australia ke Bali, Indonesia. (Foto: smh.com.au)
Kasus Corby, Konjen RI di Perth Pernah Dikirimi Peluru
Dalam artikelnya, Rick Feneley mengungkapkan juga, kisah tentang Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Perth, yang pernah menerima kiriman surat kaleng. Isinya, setelah dibuka, ternyata berisi dua buah peluru. Adapun pesan yang tertulis pada surat kaleng tersebut adalah sebuah ancaman yang serius! Intinya, mengancam, bahwa kalau Schapelle Corby tidak segera dibebaskan, maka Konjen RI bakal menerima tembakan salah satu dari peluru tersebut, dan mengenai bagian otak di kepala.
Tidak hanya itu, pesan ancaman yang provokatif tersebut juga sekaligus menyatakan pengusiran, agar semua orang-orang Indonesia kembali pulang ke tanah airnya, atau enyah dari Australia saat itu juga. “Go home you animals!” tulis pesan surat kaleng yang penuh ancaman dan penghinaan itu.

Lelucon Kurang Ajar Mantan Pengacara Corby
Adapun yang saat ini tengah mencuat di pemberitaan domestik Australia, adalah tentang pernyataan mantan pengacara Corby yakni Kerry Smith-Douglas, yang cukup mengagetkan, melecehkan, dan cenderung berkonotasi kurang-ajar. Pernyataan tersebut secara agresif ‘menyerang’ Corby secara pribadi, keluarga Corby, dan juga para penegak hukum — khususnya yang menangkap, mengadili, dan membina Corby selama dalam kurungan penjara – di Indonesia.
13919030021345312128
Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, sewaktu menyampaikan pembebasan bersyarat narapidana narkotika Corby, pada Jumat, 7 Februari 2014. (Foto: brisbanetimes.com.au)
Ceritanya begini, saat melakukan wawancara dengan awak jurnalis stasiun televisiChannel Nine pada Kamis, 6 Februari 2014, Kerry Smith-Douglas ditanya oleh Karl Stefanovic, sang pewawancara: “Bagaimana Corby akan merayakan kebebasannya (dari penjara)?” Jawabannya, tak disangka-sangka, perempuan dengan model rambut awut-awutan itu menjawab, yang intinya adalah, bahwa Corby kemungkinan akan merayakan kebebasannya dari penjara, dengan membuka gabus tutup botol sampanyenya, kemudian menggulung lintingan marijuana seukuran cerutu untuk kemudian menghisapnya. “And then kick back, and enjoy herself,” kata Kerry Smith-Douglas sembari kedua tangannya mempraktikkan gaya seseorang yang sedang menghisap mariyuana.

Luncuran jawaban mantan pengacara Corby ini, kontan saja membuat kaget sang pewawancara, hingga harus sedikit tertunduk dan tertawa kecil. Padahal, Karl Stefanivic sendiri sebenarnya sadar, bahwa saat itu tidak ada sesuatu yang lucu sehingga patut ditertawakan.

Pernyataan Kerry Smith-Douglas ini pun tak pelak memunculkan rasa kesal dan dongkol dari pihak keluarga Corby. Keluarga Corby mengeluarkan pernyataan yang antara lain dipublikasikan pula oleh situs news.com.au. Pernyataan itu menyebutkan, bahwa pihak keluarga Corby membantah kalau Kerry Smith-Douglas pernah bekerja sebagai pengacara keluarga Corby. Selain itu, pihak keluarga Corby juga menilai, pernyataan Kerry Smith-Douglas soal bagaimana kemungkinan cara Corby merayakan kebebasannya dari penjara, dengan menenggak sampanye dan menghisap mariyuana, adalah merupakan “bad taste and ill informed”.

Sadar bahwa pernyataannya menimbulkan ‘persoalan’ baru, Kerry Smith-Douglas belakangan menegaskan, bahwa pernyataannya tentang kemungkinan cara Corby merayakan kebebasannya dari penjara narkotika di Bali, dengan melinting dan menghisap mariyuana, adalah hanya sebagai lelucon belaka. “No. It was a joke, don’t you have a sense of humour? Get a life. Loosen up. Enjoy a joke,” katanya kepada Radio Fairfax.
13919031151088090302
Kerry Smith-Douglas, mantan pengacara Corby, sewaktu menyampaikan pernyataan lelucon bahwa kemungkinan Corby akan merayakan kebebasannya dari penjara, dengan meminum sampanye, dan melinting mariyuana. (Foto: brisbanetimes.com.au)
Lelucon Kerry Smith-Douglas ini turut di-share dalam jejaring sosial, semisal Facebook (FB) pada akun milik Herald Sun. Hasilnya, cukup banyak yang berkomentar. Hingga Minggu, 9 Februari 2014 dini hari saja, ada 104 orang yang berkomentar, dan 92 orang menyatakan like. Beberapa komentar, ada yang memahami tentang lelucon tersebut. Tapi, tidak sedikit yang justru kesal dengan pernyataan dagelan Kerry Smith-Douglas. Misalnya, seperti yang disampaikan Ngaire Mackay yang tinggal di Victoria, Australia: “That has to be a joke surely, in poor taste”.

Komentar lain datang dari empunya akun FB bernama Jas Pearce. Kata mahasiswi cantik di Griffith University, Brisbane ini, pernyataan Kerry Smith-Douglas adalah sesuatu yang sangat bodoh untuk diucapkan, tidak menghargai bangsa Indonesia, dan berpotensi memunculkan masalah bilateral baru. “It was a very, very stupid thing to say. The Indonesians could see that comment as disrespectful taunting and an admission of guilt - you don’t joke about these things prior to the signing of probabtion papers. It’s nothing to do with not having a sense of humour - it’s plain dumb. I think she was having a dig and trying to cause trouble,” tutur Jas Pearce.

Rasanya, Kerry Smith-Douglas layak diberi hukuman atas pernyataan dagelannya yang sangat tak patut untuk diucapkan, apalagi oleh seorang dengan profesi pengacara. Mungkin saja, bentuk hukumannya bisa bermacam-macam, termasuk sanksi moral dari dan oleh sesama para pengacara, baik yang ada di Australia, maupun di Indonesia. Ada baiknya juga, Kerry Smith-Douglas memetik pelajaran dari kasus Malcolm T. Elliott, yang gara-gara sikap xenophobia-nya, akhirnya harus meradang dan merasakan sendiri akibat buruk dari ucapan dalam siaran radionya yang penuh kebencian terhadap bangsa Indonesia.
Beuuhhhh!

0 komentar:

Posting Komentar